“Hey, Aoi?”
“Apa?”
Beberapa jam telah berlalu.
Hinami telah mendapatkan kembali
keseimbangannya dan bergerak maju dan lancar dengan
studinya, olahraganya, dan-romantisnya.
Di hari itu juga, pada perjalanan pulang ke rumah dari sekolah Hattroi
bertanya padanya “Ingin mampir ke rumahku?”
“…Um…”
Dia terperangah untuk sesaat. Dia mencoba melakukan perhitungan mentalnya yang biasa tentang pro dan
kontra, tetapi sebenarnya dia ragu-ragu.
“Orang tua ku terlambat pulang kerumah hari ini.”
“Mereka terlambat?”
Sekali lagi, jantungnya berdetak kencang
Mereka masih SMP. Hanya karena dia
memintanya tidak berarti mereka akan melewati batas utama, tapi dia
memiliki perasaan yang kuat bahwa akan ada sesuatu yang akan terjadi, dia tidak sepenuhnya yakin dia memiliki kapasitas untuk menangani itu.
“Aku… tidak yakin.”
“Aku ingin membicarakan sesuatu.”
Hattori sangat gigih, dia masih tidak yakin. Disisi lain, jika dia
pergi, dia mungkin akan mendapatkan pengalaman yang akan membantunya nanti.
Dia mengambil nafas dalam sebelum menjawab.
“Baiklah.”
Mereka berdua berada di ruangan nya-tempat yang membosankan hanya
dengan meja, sebuah tempat tidur, dan beberapa rak. Tapi ada sebuah bola basket
tergeletak di lantai, yang cocok untuk wakil ketua tim basket.
Mereka berdua duduk bersebelahan di atas bantal, bersandar di tepi tempat tidur. Hattori tidak terlihat memiliki
keberanian untuk benar-benar duduk diatas tempat tidur, yang sedikit
meyakinkan untuk hinami.
“Jadi…?”
“Iya?”
Hattori sedikit gelisah, tapi balasan Hinami
sedingin timun. Sebenarnya, dia hanya lebih baik dalam menyembunyikan rasa gugupnya.
TL note : sedingin mentimun sma dengan tenang
“Mereka mengumumkan starter lineup pada hari ini, bukan?”
“Iya...”
Dia merujuk terhadap lineup pada pertandingan musim panas, yang akan
menjadi terakhir kalinya siswa tahun ketiga bermain.
Dan nama Hinami tidak ada disitu.
“Aku sangat yakin kau akan dipilih.”
“…Benarkah? Yah tidak banyak yang bisa kulakukan tentang hal itu.”
Tentu saja dia tidak dipilih-dia berbicara secara rahasia pada pelatih
bahwa dia tidak tertarik untuk bermain di tahun ini.
“Sialan. Aku berharap kita dapat menjadi starter sebagai pasangan”
“Ah-ha-ha, impian yang bagus.”
“Maksudku, betapa kerennya jika wakil ketua tim berkencan dengan starter
tahun kedua.”
“Aku tahu itu” Dia mengatakannya dengan senyum yang agak gelap.
“Aoi…. Aku ingin menanyakan sesuatu.”
“Apa?”
Dia mengambil bola basket, dan merendahkan suaranya sedikit “kau tidak
menolaknya, bukan?”
“Apa?” Dia lebih dari sedikit terkejut.
“Aku mendengar beberapa gadis agak cemburu.” Katanya santai, melempar
bola nya keatas dan menangkapnya.
Rasa kepuasannya kemudian tidak ada
hubungannya dengan rasio biaya-manfaat. Hattori tahu bahkan tanpa dia katakan bahwa dia
telah dikuasai oleh mayoritas untuk kejahatan yang tidak pernah ada.
“Iya sedikit.” Dia setuju dengan samar samar.
Hattori menghela nafas dan menjatuhkan bolanya kembali kelantai. “Jadi
begitu ya….”
“Ah-ha-ha. Itu bukan masalah
besar.” Dia mebalas dengan ceria di suaranya.
Dia mengira Hattori merujuk pada para gadis yang iri padanya terhadap
kemampuan basketnya-bukan karena dia kencan dengan Hattori.
Tetap saja. Dia merasa senang terhadap itu dia bisa membagikan beberapa
kebenarannya kepada sesorang.
“Hey, Aoi?” Hattori menatap lurus kepadanya.
“Huh, Ada apa Akira?”dia berbalik kearah Hattori
Mata mereka bertemu, suasananya tegang dan, dia sangat sadar betapa
sendiriannya mereka.
Tangan Hattori mengusap pipi lembutnya
saat Hattori dengan ringan meletakkan di bahunya. “Bisakah aku mencium mu?”
Untuk tahun ketiga di SMP, pertanyaan itu membutuhkan tekad yang luar biasa untuk bertanya secara langsung, tanpa basa-basi. Untuk Hinami, yang mana lebih muda, pertanyaan itu cukup untuk benar-benar menghancurkan ketenangannya.
“Um…”
Tidak yakin harus berkata apa, dia
melihat standarnya sendiri untuk sebuah jawaban.
Kenyataannya adalah, dia tidak melihat
banyak nilai dalam memiliki pacar atau berciuman, atau semacam itu. masalahnya adalah apakah itu akan menjadi hal
yang baik untuk dilakukan dalam hal prospek masa depannya-itu, dan kebingungan
emosional dan tidak logisnya saat ini.
Mengabaikan perasaanmu untuk logika murni itu sendiri tidak
logis.
Perasaan merupakan bagian dari manusia,
jadi jika kamu ingin perhitungan yang baik, kau harus menggabungkan
mereka kedalam alasanmu.
Adapun situasi saat ini.
Dia tidak pernah merasa bingung atau
gelisah seperti yang dia lakukan saat ini-dan dia tidak bisa mengabaikannya dan
hanya fokus pada ketidak bergunanya mencium dia. Jadi mengapa? Mengapa dia
duduk di sini sekarang, Menjadi tidak yakin
apakah akan mengambil risiko?
Saat dia mencari jawaban, Hattori
mulai bersandar padanya.
Bibir dia makin mendekat; tidak ada cukup waktu
tersisa baginya untuk memikirkan ini.
Sekejap kemudian.
…sesuatu yang dikatakan Hattori tadi terlintas di pikirannya.
”…Tidak, berhenti.”
Dia menekan jarinya pada bibir Hattori dengan senyuman dewasa.
Jantung, saraf, dan antisipasi Hattori
berdebar-debar sangat tinggi pada saat itu, jadi dia tidak tahu
apa yang harus dilakukan dengan emosinya setelah ditolak.
“Ke-kenapa?”
“Begini…
Hinami mengulur waktu agar dia bisa
menjelaskan padanya—atau lebih tepatnya, agar dia bisa menjelaskannya pada
dirinya sendiri
Kata yang terlintas di benaknya tadi adalah:
“Maksudku, betapa kerennya jika wakil ketua tim berkencan
dengan starter tahun kedua.”
Ketika dia mendengar Hattori mengatakan
itu, dia merasa sangat jijik padanya, tidak bisakah
dia menemukan harga diri yang cukup dalam statusnya sendiri sebagai starter dan
wakil presiden tim? Apakah dia harus memberi kompensasi
dengan menambahkan nilai pacarnya ke miliknya sendiri? Benar-benar cara
berfikir yang lemah. Itu adalah batas dari kodependensi.
Tl note (kodependensi itu ketergantungan dalam hubungan)
Tentu saja, dia tidak terlalu
memikirkan kata-katanya
Hinami mengakui bahwa Hattori memiliki tingkat kemandirian tertentu; dia telah mengerahkan sedikit upaya
yang berhasil untuk memperbaiki dirinya sendiri.
Tetapi Hinami tidak akan pernah berani menyiratkan bahwa dia akan menyerah untuk meningkatkan
dirinya sendiri murni melalui usahanya sendiri.
Hattori masih sangat muda, agak berlebihan untuk
mengharapkan dia memiliki kekuatan dan kebenaran yang cermat seperti dirinya, tetapi sebagian dari diri Hinami memang menginginkan
itu darinya.
Mungkin dia akan menemukan kekuatan pada akhirnya, tapi untuk sekarang,
dia terlihat lemah bagi Hinami.
Dia memandang matanya dan tersenyum menggoda
“Mari kita ambil langkah ini satu per
satu”
Sebelumnya | Selanjutnya
0 Komentar