Melankolis Dari Heroine Sempurna part 7

 



Melankolis Dari Heroine Sempurna part 7


“Hey, Aoi?”

“Apa?”

Beberapa jam telah berlalu.

Hinami telah mendapatkan kembali keseimbangannya dan bergerak maju dan lancar dengan studinya, olahraganya, dan-romantisnya.

Di hari itu juga, pada perjalanan pulang ke rumah dari sekolah Hattroi bertanya padanya “Ingin mampir ke rumahku?”

“…Um…”

Dia terperangah untuk sesaat. Dia mencoba melakukan perhitungan mentalnya yang biasa tentang pro dan kontra, tetapi sebenarnya dia ragu-ragu.

“Orang tua ku terlambat pulang kerumah hari ini.”

“Mereka terlambat?”

Sekali lagi, jantungnya berdetak kencang

Mereka masih SMP. Hanya karena dia memintanya tidak berarti mereka akan melewati batas utama, tapi dia memiliki perasaan yang kuat bahwa akan ada sesuatu yang akan terjadi, dia tidak sepenuhnya yakin dia memiliki kapasitas untuk menangani itu.

“Aku… tidak yakin.”

“Aku ingin membicarakan sesuatu.”

Hattori sangat gigih, dia masih tidak yakin. Disisi lain, jika dia pergi, dia mungkin akan mendapatkan pengalaman yang akan membantunya nanti.

Dia mengambil nafas dalam sebelum menjawab.

“Baiklah.”

 

Mereka berdua berada di ruangan nya-tempat yang membosankan hanya dengan meja, sebuah tempat tidur, dan beberapa rak. Tapi ada sebuah bola basket tergeletak di lantai, yang cocok untuk wakil ketua tim basket.

Mereka berdua duduk bersebelahan di atas bantal, bersandar di tepi tempat tidur. Hattori tidak terlihat memiliki keberanian untuk benar-benar duduk diatas tempat tidur, yang sedikit meyakinkan untuk hinami.

“Jadi…?”

“Iya?”

Hattori sedikit gelisah, tapi balasan Hinami sedingin timun. Sebenarnya, dia hanya lebih baik dalam menyembunyikan rasa gugupnya.

TL note : sedingin mentimun sma dengan tenang

“Mereka mengumumkan starter lineup pada hari ini, bukan?”

“Iya...”

Dia merujuk terhadap lineup pada pertandingan musim panas, yang akan menjadi terakhir kalinya siswa tahun ketiga bermain.

Dan nama Hinami tidak ada disitu.

“Aku sangat yakin kau akan dipilih.”

“…Benarkah? Yah tidak banyak yang bisa kulakukan tentang hal itu.”

Tentu saja dia tidak dipilih-dia berbicara secara rahasia pada pelatih bahwa dia tidak tertarik untuk bermain di tahun ini.

“Sialan. Aku berharap kita dapat menjadi starter sebagai pasangan”

“Ah-ha-ha, impian yang bagus.”

“Maksudku, betapa kerennya jika wakil ketua tim berkencan dengan starter tahun kedua.”

“Aku tahu itu” Dia mengatakannya dengan senyum yang agak gelap.

“Aoi…. Aku ingin menanyakan sesuatu.”

“Apa?”

Dia mengambil bola basket, dan merendahkan suaranya sedikit “kau tidak menolaknya, bukan?”

“Apa?” Dia lebih dari sedikit terkejut.

“Aku mendengar beberapa gadis agak cemburu.” Katanya santai, melempar bola nya keatas dan menangkapnya.

Rasa kepuasannya kemudian tidak ada hubungannya dengan rasio biaya-manfaat. Hattori tahu bahkan tanpa dia katakan bahwa dia telah dikuasai oleh mayoritas untuk kejahatan yang tidak pernah ada.

“Iya sedikit.” Dia setuju dengan samar samar.

Hattori menghela nafas dan menjatuhkan bolanya kembali kelantai. “Jadi begitu ya….”

 “Ah-ha-ha. Itu bukan masalah besar.” Dia mebalas dengan ceria di suaranya.

Dia mengira Hattori merujuk pada para gadis yang iri padanya terhadap kemampuan basketnya-bukan karena dia kencan dengan Hattori.

Tetap saja. Dia merasa senang terhadap itu dia bisa membagikan beberapa kebenarannya kepada sesorang.

“Hey, Aoi?” Hattori menatap lurus kepadanya.

“Huh, Ada apa Akira?”dia berbalik kearah Hattori

Mata mereka bertemu, suasananya tegang dan, dia sangat sadar betapa sendiriannya mereka.

Tangan Hattori mengusap pipi lembutnya saat Hattori dengan ringan meletakkan di bahunya. “Bisakah aku mencium mu?”



 Untuk tahun ketiga di SMP, pertanyaan itu membutuhkan tekad yang luar biasa untuk bertanya secara langsung, tanpa basa-basi. Untuk Hinami, yang mana lebih muda, pertanyaan itu cukup untuk benar-benar menghancurkan ketenangannya.

“Um…”

Tidak yakin harus berkata apa, dia melihat standarnya sendiri untuk sebuah jawaban.

Kenyataannya adalah, dia tidak melihat banyak nilai dalam memiliki pacar atau berciuman, atau semacam itu. masalahnya adalah apakah itu akan menjadi hal yang baik untuk dilakukan dalam hal prospek masa depannya-itu, dan kebingungan emosional dan tidak logisnya saat ini.

Mengabaikan perasaanmu untuk logika murni itu sendiri tidak logis. Perasaan merupakan bagian dari manusia,  jadi jika kamu ingin perhitungan yang baik, kau harus menggabungkan mereka kedalam alasanmu.

Adapun situasi saat ini.

Dia tidak pernah merasa bingung atau gelisah seperti yang dia lakukan saat ini-dan dia tidak bisa mengabaikannya dan hanya fokus pada ketidak bergunanya mencium dia. Jadi mengapa? Mengapa dia duduk di sini sekarang, Menjadi tidak yakin apakah akan mengambil risiko?

Saat dia mencari jawaban, Hattori mulai bersandar padanya.

Bibir dia makin mendekat; tidak ada cukup waktu tersisa baginya untuk memikirkan ini.

Sekejap kemudian.

…sesuatu yang dikatakan Hattori tadi terlintas di pikirannya.

”…Tidak, berhenti.”

Dia menekan jarinya pada bibir Hattori dengan senyuman dewasa.

Jantung, saraf, dan antisipasi Hattori berdebar-debar sangat tinggi pada saat itu, jadi dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan emosinya setelah ditolak.

“Ke-kenapa?”

“Begini…

Hinami mengulur waktu agar dia bisa menjelaskan padanya—atau lebih tepatnya, agar dia bisa menjelaskannya pada dirinya sendiri

Kata yang terlintas di benaknya tadi adalah:

“Maksudku, betapa kerennya jika wakil ketua tim berkencan dengan starter tahun kedua.”

Ketika dia mendengar Hattori mengatakan itu, dia merasa sangat jijik padanya, tidak bisakah dia menemukan harga diri yang cukup dalam statusnya sendiri sebagai starter dan wakil presiden tim? Apakah dia harus memberi kompensasi dengan menambahkan nilai pacarnya ke miliknya sendiri? Benar-benar cara berfikir yang lemah. Itu adalah batas dari kodependensi.

Tl note (kodependensi itu ketergantungan dalam hubungan)

Tentu saja, dia tidak terlalu memikirkan kata-katanya

Hinami mengakui bahwa Hattori memiliki tingkat kemandirian tertentu; dia telah mengerahkan sedikit upaya yang berhasil untuk memperbaiki dirinya sendiri.

Tetapi Hinami tidak akan pernah berani menyiratkan bahwa dia akan menyerah untuk meningkatkan dirinya sendiri murni melalui usahanya sendiri.

Hattori masih sangat muda, agak berlebihan untuk mengharapkan dia memiliki kekuatan dan kebenaran yang cermat seperti dirinya, tetapi sebagian dari diri Hinami memang menginginkan itu darinya.

Mungkin dia akan menemukan kekuatan pada akhirnya, tapi untuk sekarang, dia terlihat lemah bagi Hinami.

Dia memandang matanya dan tersenyum menggoda

“Mari kita ambil langkah ini satu per satu



Sebelumnya | Selanjutnya

Posting Komentar

0 Komentar